Penulis : Fajar Mesaz
MESUJI, Lensalampung.com – Pukul 11.32 WIB, menjelang dhuhur. Cuaca masih mendung, bahkan sejak pagi. Hujan kecil serupa jarum menitik tanpa henti seolah sedang mengabarkan kemungkinan lain di waktu berbeda.
Bersama reporter Siger TV, Sandi Putra, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mesuji, Mardinata, kami tiba di Dusun Talangbatu yang lengang namun terus berdenyut. Desa ini adalah sebuah pemukiman tua yang berada di sebelah Timurlaut Mesuji dan merupakan bagian dari desa definitif wilayah Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji.
“Kenapa tak memberitahu kalau mau datang?” tanya Kepala Desa Talangbatu, Sulham Efendi, setiba kami di aula sebelah rumahnya. Dari caranya menunggu, saya meduga, dia memang sama sekali tidak sedang keberatan atas kedatangan itu.
“Biar jadi kejutan,” jawab Aleng asal Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Mesuji, Mardinata, yang membawa kami.
Mardinata, juga adalah putera asli Desa Talangbatu yang pada Pemilu lalu terpilih sebagai wakil rakyat yang salah satunya berasal dari desa ini.
Menimpali Mardinata, saya kemudian mengemukakan maksud kedatangan yang sebenarnya memang sudah direncanakan sejak lama.
“Terkait jejak Raden Fatah di tanah ini,” ucap saya.
Kades Sulham diam sejenak. Mengumpulkan serpihan ingatan yang ada di kepalanya. Tak lama berselang, ia segera berkisah tentang hal-hal yang dia ketahui, dari cerita yang terus diceritakan secara turun temurun, tentang kemungkinan itu.
“Dari beberapa jejak yang masih bisa dilihat sampai hari ini, Raja Demak, Raden Fatah, memang pernah singgah bahkan dia juga yang memberi nama desa ini sebagai Talang Batu,” jelas Sulham. Tak lama berselang, kami kedatangan, Mulyono, seorang lelaki paruh baya yang sebelumnya memang diminta Sulham untuk hadir dan menguatkan argumanetasinya.
Dijelaskan Mulyono, keberadaann jejak Raden Fatah itu salah satunya dapat ditilik dari sebuah petilasan atau tempat peristirahatan sang Raja saat berada di Talangbatu ketika mensyiarkan agama Islam di tanah Sumatera.
“Tempatnya masih bisa dikujungi,” kata Mulyono. “Saya sendiri yang menjaganya.”
Kami pun diajak menuju sebuah lokasi yang ia sebut sebagai petilasan itu, yang dalam bahasa Jawa, mengambil istilah Wikipedia, petilasan berati sebuah tempat yang pernah disinggahi oleh seseorang yang penting atau dianggap penting.
“Disinilah tempat Raden Fatah beristirahat setelah melakukan pengembaraan,” kata Mulyono.
Tempat yang dimaksud Mulyono tersebut adalah sebuah cungkup beratap asbes, empat tiang dan tanpa dinding dengan pagar berkeliling setinggi pinggang berukuran 6×6 meter. Di tempat itu, masih kata Mulyono, sebelumnya, berdiri sebuah pohon besar berdiameter 150 cm dan selalu terjaga keberadaannya selama bertahun-tahun.
“Sayangnya, sejak beberapa waktu lalu pohon itu mengering dan mati. Mungkin karena usia,” jelas Mulyono.
Penjelasan Mulyono juga diperkuat mantan Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat setempat, H. Hatta. (bersambung)