Oleh : Sandi Chandra Pratama (Penulis adalah Jurnalistik)
Pelanggaran hukum terhadap Pers sering terjadi di Indonesia, khususnya Provinsi Lampung meskipun sudah ada kejelasan di Pasal 8 dan 18 Ayat 1 Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers masih kerap mendapat ancaman pada saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Oleh karena itu, diperlukan adanya partisipasi dari pihak lain seperti aparat penegak hukum dan masyarakat itu sendiri untuk membangun budaya taat hukum, bagi masyarakat sehingga perlindungan hukum terhadap Wartawan dalam menjalankan profesi Jurnalistik dapat dilakukan secara maksimal, paling tidak dapat dihindarkan tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa Wartawan dalam menjalankan tugasnya.
Peranan Wartawan, amat vital bagi kegiatan Jurnalistik, membutuhkan ketenangan dan rasa aman bagi Wartawan dalam menjalankan tugas-tugas Jurnalistik, maka kepada Wartawan berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sehingga Wartawan merasa terlindungi dari tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan yang dapat mengancam keselamatan jiwanya.
Secara legal formal memang Wartawan memperoleh jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya, akan tetapi dalam praktik di lapangan sampai detik ini masih terjadi tindakan kekerasan terhadap Wartawan dan awak media lainnya baik yang berupa ancaman/intimidasi, tekanan dari para pihak yang menjadi obyek berita maupun tindakan pemukulan, pengusiran, perampasan dan/atau pengerusakan perlengkapan tugas Jurnalistik (kamera, film, kantor) sampai pada pembunuhan terhadap insan Pers.
Berdasarkan informasi berita Media Massa tentang kasus-kasus tindakan kekerasan terhadap Wartawan tersebut di Provinsi Lampung. Ketua Umum Aliansi Wartawan Siger (AWASI), Sandi Chandra Pratama, S.Psi menyayangkan tindakan pelanggaran Undang-undang Pers terhadap Wartawan yang padahal seharusnya Wartawan dalam menjalankan tugasnya mendapatkan perlindungan dari hukum.
Dalam Anggaran Dasar Aliansi Wartawan Siger (AWASI) bertujuan mewujudkan cita-cita kemerdekaan Pers sesuai Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, memberikan bantuan dan perlindungan hukum sesuai Undang-undang Pers, mendukung pembangunan Pemerintah Daerah maupun Nasional yang bersinambung, mencerdaskan masyarakat memperoleh informasi, mewujudkan tugas kontrol sosial, kritik, koreksi, dan saran terhadap Pemerintah.
Dengan adanya kasus pelanggaran Pers terhadap wartawan tersebut dan kasus tindakan kekerasan lainnya terhadap Wartawan maka dapat dikatakan bahwa wartawan yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum baik ketika menjalankan profesinya maupun sebagai warga negara Indonesia ternyata tidak mendapatkan haknya sebagaimana diatur dalam peraturan Undang-undangan.
Kekerasan terhadap Wartawan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dikatakan demikian sebab kekerasan terhadap Wartawan merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan Pers dalam menyampaian informasi secara universal telah diakui dalam Declaration of Human Rights, tepatnya diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan dan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun dengan tidak memandang batas-batas”.
Tindakan premanisme yang berupa penganiayaan maupun tindakan kekerasan lainnya terhadap Media Massa apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Sebab dalam menjalankan tugasnya seorang Wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketentuan mengenai adanya perlindungan terhadap Wartawan, secara jelas tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, yang selengkapnya berbunyi : Dalam melaksanakan profesinya Wartawan mendapat perlindungan hukum.
Yang dimaksud adalah jaminan perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah dan atau masyarakat kepada Wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya tindakan kekerasan terhadap Wartawan. Baik itu yang terjadi karena unsur kesengajaan maupun yang tidak disengaja. Tindakan kekerasan yang terjadi karena unsur kesengajaan biasanya terkait saat wawancara serta isi berita yang dibuat oleh Wartawan. Misalnya saja dalam hal peliputan yang bersifat kontroversial yang menyangkut masalah isu korupsi, pada kondisi seperti ini Wartawan akan banyak menghadapi tantangan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan aibnya terbongkar.
Selain itu tindakan anarkis yang menimpa Wartawan juga disebabkan ketidakpuasan narasumber terhadap isi berita yang dibuat. Untuk menunjukkan ketidakpuasannya itu banyak dari mereka yang melampiaskan dengan melakukan kekerasan terhadap Wartawan. Salah satunya dengan melakukan perampasan alat peliputan, pemukulan dan lainnya terhadap Wartawan yang bersangkutan.
Padahal dalam buku Himpunan Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang ada kaitannya dengan Media Massa, setiap orang yang merasa dirugikan dalam pemberitaan Pers agar menggunakan hak jawab maupun jalur hukum bukan dengan melakukan tindakan “Main Hakim Sendiri”.
Ketidak jelasan mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada wartawan membuat Wartawan sering menjadi sasaran tindakan kekerasan, baik yang dilakukan oleh sumber berita maupun dalam kegiatan Jurnalistik yang seharusnya ada perlindungan kepada Wartawan pada saat menjalankan tugas Jurnalistiknya di lapangan.
Dalam kasus tersebut terlihat jelas kurangnya perlindungan terhadap para Wartawan yang mengalami tindakan kekerasan. Banyaknya tindakan kekerasan terhadap Jurnalistik terlihat juga betapa lemahnya sistem hukum di Indonesia terhadap para aparat yang melakukan tindakan kekerasan. Karena sampai saat ini, proses hukum terhadap mereka diduga tidak juga terlaksana dan lambat.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat ini seharusnya tidak terjadi karena sesuai dengan Pasal 8 UU 40 Tahun 1999, Wartawan dilindungi secara hukum pada saat menjalankan tugas Jurnalistiknya, dalam hal ini, peliputan yang mereka lakukan merupakan bagian dari tugas Jurnalistik mereka sebagai wartawan.
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pera, yang menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Dalam hal ini semua pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan Pers atau Media Massa seharusnya mengajukan laporan kepada Dewan Pers. Dalam Pasal 15 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam ayat 2 butir c menjelaskan bahwa memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan Pers.
Dalam Pasal ini jelas disebutkan bahwa semua pihak baik perorangan maupun badan hukum bisa mengajukan laporan kepada Dewan Pers apabila terdapat pemberitaan yang dianggap merugikan pihaknya.
Karena begitu beratnya tugas Wartawan dalam mencari kebenaran akan suatu berita, seharusnya para Wartawan mendapatkan apresiasi dari semua masyarakat, maupun aparat keamanan.
Dengan adanya apresiasi dari segala pihak, maka kasus tindakan kekerasan kepada para pencari berita ini seharusnya dapat terhindari apabila pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan miring tentang dirinya mengikuti prosedur hukum yang berlaku, apalagi Wartawan seharusnya dilindungi oleh Undang-undang saat menjalankan tugas Jurnalistiknya.
Dewan Pers pada bulan Desember 2012 mengeluarkan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang isinya antara lain menyatakan: “Perlindungan terhadap Wartawan dalam menjalankan tugas Jurnalistik telah menjadi kewajiban dunia Internasional”.
Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Council) di Wina, Austria, dalam resolusi yang disepakati seluruh anggota tanggal 27 September 2012 untuk pertama kali menegaskan pentingnya keselamatan Wartawan sebagai unsur fundamental kebebasan ekspresi.
Dalam resolusi itu, Dewan Hak Asasi Manusia menyerukan kepada Negara-negara di dunia agar mengembangkan lingkungan yang aman bagi para Wartawan yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan pekerjaan secara independen. Resolusi ini juga menyerukan pencegahan impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap Wartawan dengan melakukan investigasi yang tidak memihak, cepat, dan efektif.
Dengan demikian perlindungan hukum terhadap Wartawan merupakan kewajiban Negara yang seharusnya dilaksanakan secara tegas oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia khususnya sesuai ketentuan hukum yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 sebagai lex specialist derogate lex generalist.
Bila perlu harus dilakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disesuaikan dengan perkembangan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat Indonesia sekarang. Perlindungan terhadap wartawan secara eksplisit diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers).
Namun ketentuan dalam Undang-undang ini sepertinya bersifat represif (penindakan) tidak bersifat preventif (pencegahan), seharusnya ada aturan pelaksanaan yang secara tegas memberikan jaminan perlindungan terhadap Wartawan dalam arti yang preventif, yaitu yang dapat mencegah ataupun meminimalisir terjadinya tindakan kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap Wartawan.
Demikian juga Dewan Pers dalam Peraturan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang dikeluarkan bulan Desember 2012 ada 9 butir ketentuan tentang standard penanganan perlindungan Wartawan, namun demikian selama tidak adanya sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran atau tindakan kekerasan terhadap Wartawan maka efektifitas perlindungan terhadap Wartawan masih menjadi impian bagi insan-insan Pers.
Aliansi Wartawan Siger (AWASI) meminta tanggungjawab Negara dalam hal ini pihak Kepolisian Republik Indonesia sebagai penegak Hukum, Kejaksaan dan Hakim untuk lebih serius menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap Wartawan dengan memberikan sanksi hukum yang keras kepada pelaku untuk memberikan efek jera. (rls)