SMSI Lampung Apresiasi Kejati Atas Rencana Penetapan Tersangka Kasus KONI

Lensa News150 views

Bandar Lampung, Lensalampung.com – Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Lampung, Donny Irawan mengapresiasi langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung soal kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dana Hibah KONI Tahun Anggaran 2020, diperkirakan akhir tahun 2022 akan ada penetapan Tersangka.

“Saya sangat mengapresiasi hal itu (penetapan tersangka), bukan rahasia umum lagi apabila kasus ini sudah lama berjalan. Ini merupakan langkah besar yang sudah sepatutnya dijalankan,” ungkap Donny, Rabu (2/11/2022).

Lebih lanjut ia menjelaskan, Hal ini agar para pengurus KONI dan Cabang Olahraga (Cabor) di Lampung tidak terbelenggu atas kasus tersebut.

“Program tidak jalan dengan baik, kejuaraan-kejuaraan tidak dapat diikuti dengan baik, karena alasan dana,” jelasnya.

Selain daripada itu Donny menyampaikan, ada beberapa Cabor yang protes dikarenakan terdampak atas bergulirnya kasus KONI.

“Yang seharusnya mendapatkan bantuan untuk Kejuaraan Nasional (Kejurnas) namun tidak ada kejelasan, banyak yang saling lempar tanggung jawab,” tuturnya.

Donny Irawan pun berharap, agar Kejati bisa sesegera mungkin untuk bisa menuntaskan kasus ini.

“Para ketua cabor, dan Pengurus KONI, serta masyarakat pencinta olahraga di Lampung menunggu kepastian dan kejelasan dari Kejati Lampung. Diharapkan Kejati menetapkan tersangka jangan ada yang dikambing hitamkan. Karena masyarakat sudah sangat paham apa yg terjadi di KONI,” pungkas Donny.

Perlu diketahui, sebelumnya Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, Hutamrin menegaskan kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dana Hibah KONI Tahun Anggaran 2020, diperkirakan akhir tahun 2022 akan ada penetapan Tersangka.

“Seyogyanya di akhir tahun ini (2022) kita sudah bisa tetapkan tersangka, mudah-mudahan,” ujarnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, saat ini perhitungan kerugian negara atas kasus tersebut telah dilaksanakan oleh auditor independen yang berlokasi di Jakarta.

Selain itu, pihaknya pun sedang meminta pendapat ahli dalam kasus ini.

“KONI, sudah kita minta auditor independen untuk melakukan perhitungan kerugian negara. Kemudian, ada juga ahli yaitu tentang perekonomian negara,” tandasnya.

Sekedar informasi, pada 12 Januari 2022 Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung menyatakan kasus dugaan korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Lampung senilai Rp30 miliar sudah memasuki tahap penyidikan.

Namun pihak Kejati Lampung belum mau membeberkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas korupsi dana hibah KONI Lampung tersebut.

Saat itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Heffinur mengumumkan perkembangan kasus korupsi dana hibah KONI Lampung .

“Mulai hari ini, kami naikkan ke tahap penyidikan umum. Namin ini sifatnya masih penyidikan, jadi belum bisa disebutkan siapa-siapa saja namanya yang ikut terlibat,” ujar Heffinur saat jumpa pers di Kantor Kejati Lampung.

Heffinur kala itu menyampaikan, pada tahun 2019 KONI Lampung juga pernah mengajukan program kerja dan anggaran hibah Rp79 miliar. Kemudian dari dana Rp79 miliar ini, yang disetujui oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung hanya Rp60 miliar.

“Selanjutnya pada 28 Januari 2020, KONI Lampung menandatangani naskah perjanjian hibah, bahwa mereka menyetujui dana tersebut. Kemudian dana Rp60 miliar ini, pencairannya dibagi dua tahap yakni Rp29 miliar dan Rp30 miliar,” ujar Heffinur.

Namun untuk pencairan kedua senilai Rp30 miliar tidak jadi karena Covid-19, sehingga yang dikelola hanya Rp29 miliar. Ada pun rincian dana tersebut untuk anggaran pembinaan prestasi Rp22 miliar, anggaran partisipasi PON 2020 Rp3 miliar, dan anggaran sekretariat Rp3 miliar.

Setelah diselidiki, Kejati Lampung menemukan beberapa fakta yakni program kerja dan anggaran KONI Lampung untuk pengajuan anggaran hibah, tidak disusun berdasarkan usulan kebutuhan KONI dan cabang olahraga. Sehingga penggunaan dana hibah diduga telah terjadi penyimpangan.

Selanjutnya ditemukan untuk pengadaan barang dan jasa, tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan, serta ditemukan adanya penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa. (*)