Dedi Hermawan : Reklamasi Belum Ada Titik terang

Lensa News278 views

BANDARLAMPUNG, Lensalampung.com – Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Lampung Dedi Hermawan mengatakan persoalan reklamasi berdasrkan data-data yang tereskpos di media bahwa kebijakan reklamasi dari sisi sejarah tidak diketahui kemana arah kebijakan. Dalam acara diskusi publik Reklamasi Teluk Lampung yang digelar Kopi Institute di Grand Karoeke, Bandar Lampung, Kamis (22/9)

Menurut Dosen Fisif tersebut lesensinya harusnya untuk kepentingan masyarakat dan sangat tidak transparan, belum lagi ijinnya bermasalah. Sisi implementasinya sangat lemah dan dampak di Jakarta imbasnya ke Lampung.

“Akhirnya kita tersadar bahwa Lampung juga kena imbas dan ini kebijakan yang tidak berpihak ke masyarakat. Pihaknya meminta pengawasan kepada lembaga DPRD dan ada klarifikasi dari pemerintah provinsi. DPRD masih setengah kopling dalam persoalan ini,” kata dia.

Sementara, Anggota komisi I DPRD Kota Bandar Lampung Muchlas Bastari mengapresiasi diskusi reklmasi Teluk Lampung.”Ini bentuk kepedulian bersama dari teman-teman penggagas acara ini,” kata Muchlas.

 Reklamasi jangan hanya utntuk kepentinga bisnis. Hasil penelusuran pihaknya.” reklamasi ini rata-rata untuk kepentingan pergudangan,” kata Muchlas.

Sementara, Ketua Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Ginda Ansori mengatakan  tidak adanya atau tidak jelasnya titik koordinat awal reklamasi menjadi penyebab utama sengketa di Pengadilan.” saat ini terkait kepemilikan tanah PT. SKL.

Pemerintah Kota Bandar Lampung pada saat menyusun MOU dan SK pada tahun 2003 tersebut tidak mengatur secara detail persoalan titik awal reklamasi,” kata Ginda yang sekaligus Dosen Hukum UBL tersebut.

Hingganya kata Ginda,  diduga tanah orang lain yang berada disekitar pun dirampas secara paksa. Menurutnya,  apabila masyarakat dianggap menguasai tanah hasil reklamasi PT. SKL, artinya reklamasi ini gagal dan tak diurus. Objeknya saja tak dikuasai apalagi mau membayar pajaknya sehingga negara dan daerah. “Dalam hal ini diduga dirugikan karena pemasukan pajak terkait reklamasi tidak ada,l katanya.

Ditambahkan Ginda,  dalam konstruksi hukum yang dimaksud dengan PT. SKL di dalam MOU dan SK Walikota di atas adalah 20 hektar, apabila kurang dari 20 hektar yang kenyataannya hari ini hanya 9 hektar, maka bukan reklamasi PT. SKL sehingga terjadi wan prestasi kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung.

Sementara, Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria, Iwan Nurdin, menurutnya reklamasi pada akhirnya adalah perampasan hak dan ruang bagi masyarakat pesisir dan kelautan. “Karena dampak reklamasi salah satunya menyebabkan pemiskinan masyarakat,” kata Iwan Nurdin.

Dikatakan Iwan, jika reklamasi dikatakan untuk kepentingan umum maka harusnya memiliki lintas batas kepentingan segmen sosial dan non profit.

“Tapi faktanya reklamasi itu bersifat bisnis dan untuk kepentingan pihak tertentu,” kata dia.

Menurutnya, reklamasi harus dioperatori oleh badan usaha milik pemerintah. Jika tidak maka dapat dipastikan dalam kegiatan tersebut akan banyak unsur pidananya.

“Selain itu akan banyak unsur korupsi dan perampasan hak masyarakat,” tegasnya.

Dalam diskusi kemarin Wakil Walikota Yusuf Kohar berpendapat lain, justru dia mendukung penuh adanya reklamasi. Sebab dengan adanya reklamasi dapat mendukung kemajuan ekonomi provinsi Lampung, tapi asal reklamasi tidak menganggu ekosistem laut.

Turut hadir dalam diskusi yang digelar Kopi Institute tersebut, Wakil Walikota Bandarlampung Yusuf Kohar, Akademisi Unila Tisnanta, Akademisi Unila Dedi Hermawan, Anggota DPRD Bandar Lampung Mukhlas Bastari. Bertindak sebagai moderator Yusdianto Alam. (BA)