BANDAR LAMPUNG,Lensalampung.com -Kepala Bagian Kebijakan Daerah Biro Hukum Setprov Lampung Sulistiyawati menjelaskan Pemprov Lampung bukan menolak Perda tentang baca tulis Al Quran yang disampaikan oleh Pemkot Bandar Lampung.
Namun, pihaknya tidak memberikan nomor register terhadap Perda yang diajukan tersebut. Alasannya, selain Pemprov tak berwewenang membatalkan Perda juga sesuai arahan Dirjen Otonomi daerah (Otda) agar pemberian nomor register diperketat. “Jadi arahan dari Pak Dirjen Otda itu, pemberian nomor register itu diperketat. Supaya perda yang dibuat itu sesuai kaidah,” tegas Sulis.
Seperti diketahui, memberikan nomor register memang menjadi salah satu jenis tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang terkait dengan atribut bidang hukum. “Sekali lagi kami bukan menolak,” tegas Sulis.
Pada bagian lain, Sulis menilai Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak memahami 6 bidang yang menjadi urusan absolut Pemerintah Pusat. Enam bidang tersebut: Pertahanan, Keamanan, Moneter, Yustisi, Politik Luar Negeri dan Agama.
“Di dalam UU No.23 2014 disebutkan dengan tegas bahwa segala aturan yang ada kaitanya dengan agama merupakan urusan absolute (mutlak), kewenangannya tidak diberikan kepada daerah,” tegasnya.
Sulis menerangkan hal tersebut tercantum dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Urusan-urusan itu merupakan urusan absolut yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Kaitannya dengan Raperda baca tulis Al Quran, kami melihat dan sudah konsultasi, karena itu masuk ke dalam urusan keagamaan secara spesifik, maka sesuai Pasal 10, tidak diberikan kepada daerah,” terang Sulis.
Ketidakpahaman Pemkot terhadap peraturan perundang-undangan terlihat dari urutan logis pemahaman hukum. Dalam UUD 1945 memang diatur kebebasan beragama.
Akan tetapi dalam UUD 1945 Amandeman khususnya Pasal 28 J ayat 2 disebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tunutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
” Pada kalimat “tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang”, maka selayaknya Peraturan Daerah (Perda) yang menyangkut 6 urusan absolut tersebut mematuhi UU yang berlaku, yakni UU No.23 Tahun 2014.
Dalam penjabaran pemahaman tentang hal ini, enam bidang tersebut merupakan pengecualian dari otonomi seluas-luasnya dari otonomi daerah.
Dengan kata lain, enam bidang tersebut tidak menjadi urusan otonom sehingga Perda yang merupakan pilar utama yang memayungi realisasi otonomi daerah tidak diperkenankan memuat materi keagamaan. (BA/hms)