Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM

Shared Responsibility (Pembagian Peran antara MA dan KY)

Dalam Manajemen Jabatan Hakim

Kondisi pengadilan Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai persoalan yang merendahkan kredibilitas dan kewibawaan peradilan dan hakim. Berbagai kasus korupsi dan pelanggaran etik yang dilakukan hakim dan aparat peradilan, telah mencoreng kekuasaan kehakiman. Persoalan pengadilan sesungguhnya disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah salah kelola manajemen hakim. Hal ini meliputi pengangkatan, pembinaan (mutasi promosi), pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian. Masih banyak isu korupsi, kolusi dan nepotisme dalam manajemen hakim.

Konsep Shared Responsibility (pembagian peran antara MA dan KY) dalam manajemen jabatan hakim berbasis pada prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagai upaya dalam menciptakan manajemen hakim yang berintegritas. Shared Responsibility pada manajemen hakim dimaksud dalam pengangkatan, pembinaan, pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian hakim dilaksanakan bersama oleh MA dan KY. Pola pengelolaan hakim dengan model shared responsibilitydiperlukan dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik terhadap wibawa badan peradilan dan kehormatan hakim.

Berikut poin-poin penting hasil expert meeting:

Pertama, konsep shared responsibility (pembagian peran MA dan KY) tidak bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan memiliki basis yang kuat dalam konstitusi UUD 1945. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Konsep independensi kekuasaan kehakiman dalam perspektif prinsip-prinsip peradilan yang baik harus diletakkan sejalan dengan upaya membangun integritas dan kompetensi. Hal itulah yang seharusnya diletakkan sebagai konsiderasi untuk mendesain hubungan struktural dan fungsional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai sesama organ konstitusional dalam rumpun kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung didesain sebagai organ penyelenggara peradilan, sementara KY didesain sebagai organ yang bertugas untuk melaksanakan fungsi lain guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak tepat dijadikan sebagai alasan untuk menghindari keterlibatan lembaga lain dalam urusan manajemen administrasi dan sumber daya manusia di lembaga pengadilan. Independensi yang tidak dapat disentuh adalah independensi hakim dalam memutus perkara (substantive independence).

Kedua, konsep pembagian peran antara MA dan KY beberapa organ negara merupakan sebagai konsekuensi status hakim sebagai Pejabat Negara. Konsep ini dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan akuntabilitas hakim dan peradilan tanpa mengganggu independensi hakim. Selain itu, dengan konsep ini diharapkan bisa mengubah arah manajemen hakim dalam hal rekrutmen hakim, promosi-mutasi hakim, penilaian profesi-kinerja hakim, dan pengawasan hakim agar lebih professional dan berintegritas karena ada keterlibatan lembaga lain sebagai fungsi saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).

Sejatinya, konsep shared responsibility justru dapat merefleksikan peran lembaga lain dalam pengelolaan manajemen hakim dapat mendorong penguatan institusi kehakiman dan justru menjadi amanah dari Pasal 24B UUD Negara RI 1945. Dalam perspektif ketatanegaraan, negara melakukan pembagian kekuasaan secara horizontal melalui capital distribution of poweryang menghasilkan relasi antar lembaga-lembaga Negara.

Shared responsibility dalam seleksi pejabat negara merupakan praktik konstitusi. Lihat saja seleksi jabatan-jabatan lembaga negara, seperti anggota BPK, komisioner KPK, anggota KY, komisioner Ombudsman dan pejabat negara lainnya. Tidak ada monopoli dalam seleksi jabatan-jabatan tersebut. Selalu ada pembagian peran antar lembaga.

Ketiga, peran dan wewenang Komisi Yudisial dalam manajemen jabatan hakim. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah State Auxilary Organ atau supporting element yang membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman. Poin utama dukungan pada kekuasaan kehakiman itu adalah perihal manajemen SDM hakim. KY dapat terlibat dalam proses rekrutmen, pembinaan, pengawasan, perlindungan dan pemberhentian hakim. Peran KY ini akan lebih memastikan manajemen jabatan hakim menjadi lebih transparan, akuntabel dan antikorupsi.

Alasan utama lahirnya KY adalah untuk menjamin dan menegakkan kemerdekaan (independensi) kekuasaan kehakiman, menjaga kehormatan hakim dan menegakkan akuntabilitas peradilan, demi meningkatkan kredibilitas dan kewibawaan peradilan. Sehingga tidak tepat menghadap-hadapkan Komisi Yudisial dengan ancaman intervensi terhadap lembaga peradilan. KY dibentuk justru untuk menjaga independensi dan kewibawaan hakim dan peradilan, bukan sebaliknya.

Makanya tidaklah keliru jika KY diberikan mandat oleh konstitusi untuk menjalankan wewenang-wewenang lain untuk menjaga kewibawaan hakim. Keterlibatan KY dalam manajemen jabatan hakim adalah sah dan legitimate menurut konstitusi.

Keempat, Shared Responsibility (pembagian peran MA dan KY) dalam manajemen jabatan hakim tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena RUU Jabatan Hakim merupakan UU delegasi yang diperintahkan secara langsung dan tegas oleh UUD 1945 yaitu Pasal 25 yang mengatur syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Secara tegas Pasal 25 UUD 1945 tidak menjelaskan dan mengatur mengenai manajemen hakim apakah harus dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri (one roof system) ataukah dapat dilaksanakan pembagian tanggung jawab bersama dengan Komisi Yudisial. Dengan demikian Pasal 25 dapat diartikan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pembentuk UU Jabatan Hakim untuk mengatur model yang dirasakan paling baik dalam rangka manajemen hakim, atau dengan kata lain substansi UU Jabatan Hakim merupakan open legal policy.

Kelima, Shared Responsibility (pembagian peran antara MA dan KY) dalam manajemen jabatan hakim tidak bertentangan dengan putusan MK no. 43 tahun 2015. Menurut putusan MK, Mahkamah Agung memiliki wewenang dalam rekrutmen hakim. Putusan MK tidak berada dalam ruang bahwa MA-lah lembaga satu-satunya yang berwenang dalam proses rekrutmen hakim. MK tidak masuk pada isu itu. Dimungkinkan saja keterlibatan pihak lain dalam proses rekrutmen itu, misalnya dalam bentuk Pantia Seleksi (Pansel) yang terdiri dari berbagai pihak.

Sebagai konsekuensi “pejabat negara” maka hakim harus memiliki kualifikasi khusus dibandingkan PNS. Kualifikasi khusus yang dimaksudkan untuk menjamin kapabilitas, profesionalitas dan integritas calon hakim yang akan direkrut. Untuk memperoleh hakim yang kredibel, maka diperlukan proses rekrutmen yangakuntabel dan berintegritas layaknya pola seleksi pejabat negara pada umumnya, seperti melalui Pansel yang di dalamnya melibatkan unsur representasi beberapa lembaga, antara lain KY, Ombudsman, dan stakeholder lainnya seperti perwakilan akademisi dan publik.

Yogyakarta, 24 Mei 2017

Daftar Pakar:

  1. Prof. Dr. Hibnu Nugroho (FH Univ Jendral Soedirman)
  2. Dr. Riawan Tjandra (FH Univ Atmajaya)
  3. Dr. Iwan Satriawan (FH Univ Muhammadiyah Yogyakarta)
  4. Dr. Bayu Dwi Anggono (Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi/Puskapsi Univ Jember)
  5. Dr. Agus Riewanto (FH Univ Sebelas Maret Solo)
  6. Oce Madril S.H., MA.Gov (Pukat FH UGM)
  7. Laras Susanti S.H., LL.M (Pukat FH UGM)
  8. Feri Amsari S.H., LL.M (Direktur Pusako FH Univ Andalas)
  9. Hasrul Halili S.H.,M.A. (FH UGM)
  10. Tama S. Langkun (Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW)
  11. Totok Dwi DIantoro S.H.,M.A.,LL.M (FH UGM)
  12. Erwin Natosmal Oemar (Peneliti ILR Jakarta)
  13. Hifdzil Alim S.H. M.H. (Pukat FH UGM)
  14. Tri Wahyu KH (Direktur Indonesian Court Monitoring)
  15. M. Azhar S.H., LL.M. (FH Undip Semarang)