Mengenal dan Menakar Probabilitas Cyber War

Oleh : Dede Farhan Aulawi.

Lensalampung.com- Istilah siber (cyber) mungkin bukan sesuatu yang aneh bagi sebagian orang, karena istilah ini sudah banyak digunakan dalam komunikasi harian. Polisi banyak menggunakan istilah kejahatan siber (cyber crime), militer banyak menggunakan istilah pertahanan ruang siber (cyberspace defense), kalangan pebisnis banyak memanfaatkan ruang siber dengan berbagai fasilitasnya untuk mempermudah pelayanan bisnis atau jasa, dan lain – lain.

Ternyata fakta saat ini menunjukkan bahwa benar – benar sudah banyak yang memanfaatkan ruang siber ini sesuai kepentingannya masing – masing.

Akhir – akhir ini, berita juga banyak menyuguhkan istilah perang siber atau cyber warfare. Bagi sebagian kalangan menimbulkan kebingungan sekaligus pertanyaan apa yang dimaksud dengan perang siber tersebut ? Cyberwarfare adalah penggunaan komputer (TI) sebagai instrumen perang dengan target serangan pada sistem kontrol online dan jaringannya. Hal ini tentu melibatkan operasi ofensif dan defensif yang berkaitan dengan ancaman serangan siber, spionase, dan sabotase.

Apakah hal ini mungkin ? Sebenarnya peperangan di dunia maya ini sudah berlangsung cukup lama. Cuma karena dampaknya secara fisik tidak merusak seperti penggunaan bom atau peluru kendali, maka pemberitaannya tidak begitu masif di media – media. Padahal kalau dalam kalkulasi ekonomi dalam arti kerugian finansial sebenarnya nilainya besar juga.

Fakta lain negara – negara besar di dunia secara riil terus memperkuat pasukan siber-nya, sebut saja Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Israel dan Inggris. Termasuk Iran dan Korea Utara. Bahkan saat ini hampir semua negara sudah membentuk dan memiliki pasukan siber ini, meskipun dengan skala yang berbeda – beda karena pertimbangan potensi ancaman dan kemampuan dukungan pendanaan dari masing – masing negara pasti berbeda – beda.

Perang siber saat ini sebenarnya masih malu – malu kucing, karena tidak ada satupun negara di dunia ini yang secara terang – terangan menyatakan secara terbuka untuk melakukan perang dengan negara tertentu. Jadi sementara ini semua berjalan dalam kontek operasi – operasi rahasia, dimana saat ketahuan bisa saling sanggah. Memang benar juga karena faktanya pelaku serangan siber ini tidak selalu negara atau badan – badan resmi negara, sebab ada juga yang dilakukan oleh individu – individu sesuai tujuan dan kepentingan masing – masing.

Sebagai contoh saat SEA Games 2017 di Malaysia, dimana ada cetakan bendera Indonesia tercetak dengan warna yang terbalik. Lalu ada WNI yang merasa tersinggung dan melakukan serangan terhadap 27 situs di negara Malaysia. Dalam hal ini negara tidak tahu apa – apa tentang apa yang dilakukan oleh warganya, dan tentu banyak contoh lain kejadian di beberapa negara lainnya.

Cyber Army bagi beberapa negara dipandang sebagai suatu keharusan dalam menghadapi cyber warfare. Kejadiannya bisa terjadi kapan saja dan tanpa membutuhkan alasan, karena pelaku bisa sebagai state actor dan non state actor.

Pembentukan cyber army saat ini telah menjadi bagian integral dari strategi militer secara keseluruhan, sehingga menuntut belanja atau investasi dalam nominal yang cukup besar agar negara memiliki sistem ketahanan siber yang kuat dan dengan prioritas (1) Mencegah serangan cyber terhadap infrastruktur vital, (2) Mengurangi kerentanan nasional terhadap serangan cyber, dan (3) Minimalkan waktu kerusakan dan pemulihan dari serangan siber.

Inilah salah satu plus minus kecanggihan teknologi perang saat ini. Di satu sisi banyak kecanggihan persenjataan dengan teknologi mutakhir, tapi di sisi lain kecanggihan – kecanggihan itu juga pasti memiliki kelemahan, salah satu potensi kelemahannya adalah peretasan atau gangguan terhadap kecanggihan sistem persenjataan itu sendiri. Misalnya mengutak-atik operasi pertahanan udara melalui sarana siber-nya. Bisa juga digunakan sebagai instrumen spionase atau propaganda.

Kita tentu masih ingat tentang bagaimana mata – mata AS merekam secara ilegal percakapan beberapa kepala negara atau kepala pemerintahan sebagaimana diugkap oleh Edward Snowden. Juga NSA merekam secara ilegal percakapan HP di Bahama, Kenya, Filipina, Meksiko, dan Afghanistan.

Itu semua merupakan fakta bagaimana instrumen teknologi digunakan untuk kepentingan suatu negara. Bukan hanya itu, ranah sipil pun sangat rawan dengan serangan siber seperti pencurian kartu kredit, gangguan jaringan tenaga listrik, kereta api, atau pasar saham. Kita juga tentu masih ingat bagaimana perangkat lunak berbahaya Stuxnet telah menyusup ke pabrik komputer dan telah menyebar ke komputer seluruh dunia.

Ini merupakan contoh nyata serangan siber ke sektor infrastruktur industri vital. Dan Stuxnet juga berhasil menghentikan sementara program pengembangan persenjataan nuklir Iran. Jadi serangan siber bisa dipakai untuk defensif maupun ofensif. (Rls).